Raih Beasiswa S3 di MIT untuk Riset AI
Rizki Pratama
RK Angkatan 11
8 Desember 2024
8 menit baca
“AI adalah tool yang powerful. Tugas kita adalah memastikan teknologi ini digunakan untuk kebaikan umat manusia, bukan sebaliknya.”
Ketika saya diterima di MIT dengan beasiswa penuh untuk program PhD di Computer Science, banyak yang bilang saya jenius. Tapi sebenarnya, ini adalah hasil dari kerja keras, strategic planning, dan support system yang solid dari RK dan keluarga.
Fondasi di RK: Belajar Berpikir Sistematis
Tahun 2014, saya masuk RK sebagai mahasiswa teknik informatika yang biasa saja. IPK saya 3.2 - tidak terlalu tinggi, tidak terlalu rendah. Yang membuat saya berbeda adalah curiosity dan kemauan untuk terus belajar.
Di RK, saya belajar Critical Thinking dan Systems Thinking yang sangat berguna untuk riset AI nantinya. Kemampuan untuk break down masalah kompleks, think from first principles, dan connect the dots - itu semua diasah di RK.
Menemukan Passion di Artificial Intelligence
Tahun 2015, saya ikut bootcamp Machine Learning yang diselenggarakan komunitas tech. Di sana, saya bertemu dengan dunia AI yang fascinating. Kemampuan komputer untuk belajar dari data, recognize patterns, dan make predictions - it blew my mind.
"AI adalah tool yang powerful. Tugas kita adalah memastikan teknologi ini digunakan untuk kebaikan umat manusia, bukan sebaliknya."
Dari situlah saya fokus. Setiap hari saya belajar AI: online courses, research papers, personal projects. Saya bahkan rela skip hangout sama teman demi belajar neural networks dan deep learning.
Membangun Track Record Riset
Untuk masuk top university, saya tahu harus punya research publications. Tapi dari mana mulainya? Saya mahasiswa S1 biasa, tidak ada koneksi dengan lab riset internasional.
Strategi saya:
- Join lab riset di kampus - Saya volunteer di lab AI, helping professor dengan data cleaning
- Cari collaboration - Email ke professor di luar negeri, offering untuk help dengan riset mereka
- Hackathon dan competition - Ikut Kaggle competition, dapat ranking top 10
- Write medium articles - Explain AI concepts, dapat ribuan views
Hasilnya: sebelum lulus S1, saya sudah punya 2 publikasi di conference internasional dan 1 journal paper (sebagai co-author).
Persiapan Application MIT
Application ke MIT memakan waktu 1.5 tahun preparation:
1. Test Preparation (6 bulan)
- GRE: 170 Quantitative, 158 Verbal
- TOEFL: 110/120
- Kuncinya: konsisten belajar 2 jam sehari
2. Research Proposal (4 bulan)
- Topic: "Fair and Explainable AI for Healthcare"
- Saya pilih topic yang specific, relevant, dan sesuai expertise saya
- Minta feedback dari 5 professor dan 3 PhD students
3. Statement of Purpose (3 bulan)
- Tulis, revisi, repeat 15x
- Ceritakan journey, motivation, dan future goals dengan compelling
- Minta feedback dari alumni yang sudah di top universities
4. Letters of Recommendation (2 bulan)
- Cari professor yang benar-benar kenal saya dan karya saya
- Provide them dengan draft points yang bisa mereka elaborat
Diterima di MIT: The Dream Comes True
Februari 2023, email dari MIT admission masuk. "Congratulations, you have been admitted to the PhD program..." Saya baca email itu 5x baru percaya. Beasiswa penuh: tuition, living expenses, health insurance - semua covered.
Yang membuat special adalah saya bisa riset dengan Professor Regina Barzilay, pemenang MacArthur Fellowship dan pioneer di AI for Healthcare. Ini opportunity yang tidak bisa saya tolak.
Kehidupan di MIT: Challenge dan Growth
Semester pertama di MIT adalah reality check. Teman-teman sekelas saya adalah lulusan terbaik dari Stanford, Berkeley, Tsinghua. Level diskusi di kelas sangat tinggi. Impostor syndrome hit me hard.
Tapi saya ingat prinsip dari RK: growth mindset. Saya tidak harus jadi yang terpintar, saya harus jadi yang paling willing to learn. Setiap hari saya:
- Attend all lectures dan note-taking dengan detail
- Join study groups dan teach what I learn
- Office hours dengan professor untuk deeper discussion
- Read 3-5 research papers per week
Gradually, saya catch up. Bahkan di semester kedua, paper riset saya tentang "Fairness in Medical AI" accepted di top conference (NeurIPS).
Riset AI untuk Healthcare di Indonesia
Meskipun riset saya di MIT, hati saya tetap di Indonesia. Saya sedang develop AI model untuk early detection penyakit tropis seperti TB dan DBD menggunakan data dari rumah sakit di Indonesia.
Kolaborasi dengan RS di Indonesia challenging tapi rewarding:
- Data privacy regulations yang ketat
- Data quality yang varied
- Infrastructure yang limited
Tapi ini adalah riset yang meaningful. Kalau berhasil, ini bisa save thousands of lives di Indonesia dan negara berkembang lainnya.
Advice untuk Aspiring PhD Students
1. Build Strong Foundation
- IPK penting, tapi research experience lebih penting
- Start research early, even as undergrad
2. Strategic Planning
- Target universities yang research focus-nya align dengan passion Anda
- Build relationship dengan potential advisors sebelum apply
3. Prepare Holistically
- Test scores: penting tapi bukan segalanya
- Research publications: ini yang bikin application stand out
- Statement of Purpose: ini kesempatan Anda untuk storytelling
4. Find Your Why
- PhD itu marathon, bukan sprint. 5 tahun itu lama.
- Harus punya strong motivation untuk sustain energy
5. Build Support System
- Alumni network RK sangat membantu saya
- Mentor, peer support, family - semua crucial
Visi ke Depan
Post-PhD, saya ingin kembali ke Indonesia untuk:
- Establish AI research center yang fokus pada aplikasi AI untuk social good
- Bridge gap antara academia dan industry
- Mentor next generation AI researchers dari Indonesia
MIT adalah stepping stone, bukan destination. Destination saya adalah Indonesia yang unggul di AI research dan application.
Terima kasih RK sudah membuka mata saya bahwa dengan strategic planning, hard work, dan support system yang tepat - mimpi setinggi apapun bisa dicapai. MIT bukan lagi hanya mimpi, tapi kenyataan!
Bagikan cerita ini:
Terinspirasi dari Cerita Ini?
Bagikan juga perjalanan dan pencapaianmu untuk menginspirasi alumni lainnya!